Home Top Ad

Ketika Anak TK Belajar Jarimatika

Share:
Anak saya yang nomor satu sedang duduk dibangku TK (maksudnya sekolah di TK). Masih TK anaknya? (maklum, telat kawin). Seperti sekolah TK pada umumnya, anak saya juga belajar bernyanyi, bermain, melatih kemandirian dan ketrampilan. Namun begitu pihak sekolah  ingin peserta didik juga memiliki keunggulan lain demi bersaing dengan TK-TK yang lain. Harap maklum, persaingan sekolah mencari siswa sudah semakin brutal, meskipun semester II baru dimulai sudah banyak sekolah membuka pendaftaran siswa baru dengan janji-janji manis dan memikat. 

Meskipun menurut aturan anak TK tidak boleh diajari calistung (sing kondho sopo? tanya teman saya), sekolah tempat anak saya belajar dan TK-TK yang lain diseluruh Indonesia (menurut keyakinan saya) sudah memberikan materi berhitung. Yang lebih hebat lagi anak saya diajari berhitung dengan menggunakan metode Jarimatika. 
Kode-kode pada jarimatika

Sebenarnya saya tidak begitu memperhatikan apakah anak saya telah diajari berhitung karena menurut saya belum porsinya dia mendapat pelajaran berhitung, apalagi menggunakan metode Jarimatika. Ketika setiap petang habis maghrib dia mencoba mempelajari kembali hasil belajar calistung yang menggunakan jarimatika, saya jadi penasaran. Akhirnya saya memberi beberapa soal penjumlahan yang melibatkan angka 1-10.

Soal-soal penjumlahan yang hanya melibatkan angka 1-4 dikerjakan dengan benar. Misalnya 1+4=5, 3+4=7, 4+4=8. Kemudian saya mencoba memberikan soal penjumlahan yang melibatkan angka 5-9.

Ketika saya beri soal 6+2, anak saya mulai mengerakkan jari-jemarinya sesuai yang ia pelajari disekolah. Awalnya dia mengangkat tangan kanan dengan tanda angka 6 (lihat simbol diatas) dan tangan kiri simbol angka 2 (lihat simbol diatas juga). Kemudian anak saya kembali menghitung satu persatu jari sebelah kanan dan kiri, dan ternyata hasil 6+2=4. Tepuk jidat!.
saya lanjutkan dengan beberapa soal lain, 8+3=7, 7+2=5 dan seterusnya. 
saya tidak berkomentar atas hasil belajar yang diperoleh anak saya (cuma tepuk jidat doang).

Kemudian saya memberikan alat sempoa yang saya beli didepan sekolah dan meminta anak saya menghitung kembali soal penjumlahan yang saya berikan tadi. Tentu saja hasilnya berbeda, karena harus menghitung satu persatu biji sempoa.

Saya memiliki keyakinan bahwa anak saya memang belum mampu mengolah bahkan menunjuk angka dengan tepat (dilihat dari cara dia menjumlah) dan tidak ingin menyalahkan sekolah yang memberikan pelajaran berhitung. Bagaimanapun juga sekolah tidak ingin tertinggal dari sekolah lain dalam hal prestasi belajar. 

Sebagai orang tua tetaplah bangga memiliki anak yang mau belajar berhitung meskipun tidak sepenuhnya benar.

Sayangnya anak saya masih suka buang sampah sembarangan, tidak mau membersihkan barang-barang miliknya sendiri, koleksi kata-kata kotor yang makin banyak, dan yang paling menyedihkan anak saya suka menyayikan lagu-lagu cinta yang dia sendiri tidak tahu artinya. Tepuk jidat lagi! (N/A/K)

Tidak ada komentar