Home Top Ad

Cerpen: NAmaku Sanjiwani

Share:
Cerpen : Bambang Hermanto

       “Namaku Sanjiwani !”
       “Itu namaku !” Kataku tak rela ia mengaku sama nama denganku.
       “Haaaaaaa.........!” Tawanya  melengking nyaring, ia bergerak mundur, anehnya seperti tak berjalan di atas tanah, bagai terseret angin kencang
        “Hey, tunggu ! Jangan pergi !” Pekikku sambil menebak cermin yang sedang kubuat berkaca.
         “Kita akan ketemu lagi, Sanjiwani !” Jawab perempuan yang mengaku nama sama denganku dalam cermin tadi. Untuk beberapa detik aku baru sadar, bahwa perempuan yang ada dalam cermin itu adalah diriku. Aku juga baru sadar, mengapa dalam cermin sempat terjadi dialog singkat denganku. Perasaan aneh dan ketakutan benar-benar baru kusadari, bahwa aku sedang mengalami peristiwa   janggal  dalam seumur hidupku. Terlebih peristiwa itu terjadi dalam rumahku sendiri.
      Perasaan aneh yang bertolak belakang tiba-tiba muncul dalam hatiku kembali. Dengan perasaan yang memendam dendam, aku ambil pot bunga yang kebetulan tidak jauh dari aku berdiri kuhantamkan kedalam cermin, cermin berantakan tanpa sisa.
     “Semoga iblis menyerupaiku  tidak kembali lagi !” Seruku dengan perasaan masih menyimpan dendam.
       “Kula nuwun...” Suara orang bertamu. Aku berharap yang datang adalah  Welas. Karena sudah dua kali ia minta waktu untuk mundur mencicil bunga uang pinjaman. Pintu kubuka.
         “Ampun, bu Sanji. Saya mohon beribu-ribu ampun...!” Kata tamu yang kuduga yang ternyata Welas.Ia pasti minta waktu lagi untuk memberi bunga uang yang dipinjam. Kuingat sudah  dua kali Welas mempermainkan aku.
         “Tidak. Ayo berdiri !” Perintahku sambil menjambak rambutnya yang bergelung. Kudongakkan kepalanya, sehingga ia bisa menatap wajahku dengan belalak mata yang hendak keluar. Nampak jelas sekali, pelototan matanya, karena wajahnya yang keriput dan bertubuh kurus. Seperti tinggal tulang dan kulit dan batok kepala.
          “Alasan apa lagi yang akan kamu katakan, ayo katakan !” Kataku sambil kutekan rambutnya, hingga ia mendongak kian mengarah kelangit-langit ruangan rumah. Rupanya ia merasakan rasa teramat sakit.
          “Anu, bu. Saya akan memberikan bunga itu tiga hari lagi. Karena uang yang saya siapkan untuk membayar bunga,  saya gunakan membayar cicilan seragam sekolah anak saya” Katanya dengan terputus-putus karena kesulitan bicara akibat jambakanku semakin keras.
          “Jadi kau lebih mementingkan kepentingamu daripada kau membayar bunga hutang ? Aku telah memberimu kesempatan”
          “Maaf. Itupun di sekolahan saya membayar paling telat, bu. Maaf, saya janji tiga hari lagi. Beri saya kesempatan sekali lagi, bu Sanji” Rengeknya sangat memelas sambil menyembah-nyembah. Aku seperti terhibur, aku merasa seperti ratu yang disembah kawulanya.
         “Baiklah. Tapi ingat, bunganya tambah tiga kali lipat. Paham ?” Kataku sambil menarik jambakan  dan kudorong tubuhnya kelantai dengan kekuatanku.
         Tubuhnya roboh menggelepar, mulutnya membentur tangga pintu masuk rumah. Seketika darah segar keluar dari sela-sela giginya. Semakin lama kuperhatikan, wajah  Welas semakin pucat. Aku menjadi was-was, jangan-jangan  Welas mati.
          Aku berteriak-teriak memanggil tetangga minta pertolongan. Tidak lama kemudian datang dua tetangga menolongnya. Kuceritakan, bahwa Welas jatuh terpleset saat naik tangga pintu masuk rumah. Aku sengaja memberi berbagai alasan, agar dua orang yang menolong itu percaya. Ketika diangkat kedalam rumah, aku sengaja tidak memperbolehkan dengan alasan lantainya baru saja dipel. Maka kedua orang itu membawanya ke rumah sebelah sambil menggeleng-gelengkan kepala, mungkin menganggapku orang yang tak punya belas kasihan.
*****
Malam hari. Jarum jam dinding menunjukkan angka 11. 57. Malam terasa sangat gerah, maka kubuka jendela agar ada angin masuk kedalam. Aku sandarkan tubuh di kursi malasku. Aku sedang memikirkan diriku sendiri. Di usiaku yang sudah 45 telah menjanda tiga kali, padahal aku bercerai dengan suami terkahir  sudah lima tahun yang lalu. Perkawinanku dengan mantan tiga suamiku tanpa anak. Dan setelah itu, aku lebih senang mencari berondong (laki-laki muda) untuk memenuhi hasratku jika aku butuh. Rumah mewahku adalah hasil usahaku. Hanya dalam waktu lima  tahun, aku bisa membeli  mobil mewah dan dua motor serta berbagai peralatan rumah tangga yang semuanya tergolong mewah.
        “Rumah semewah ini, hanya aku sendiri yang menempati......” Belum selesai kumembatin, mendadak raungan dua kucing gandik (hendak kawin) berkejaran melintas jendela dan menerjangku dimana aku duduk. Seketika aku jatuh, mulutku menatap tangga. Pandanganku menjadi kabur dan entah apa lagi yang terjadi. Aku hanya merasakan semilir angin menghembus ketubuhku yang terkapar.
        Tubuhku dingin  mebeku. Aku lihat  empat sosok menyerupaiku, mereka berpakaian merah, hitam, kuning dan putih. Anehnya, mereka saling berkelahi saling serang antara satu dengan yang lain. Aku tak bisa berbuat apa-apa melihat kejadian yang ganjil itu. Namun stelah cukup lama perkelahian berlangsung, perempuan yang menyerupaiku berpakaian merah itu lenyap, lalu disusul warna kuning dan hitam, hingga akhirnya tinggal yang berpakaian putih.
        Tidak lama setelah itu, datang sosok yang sangat aku kenal, Welas. Aku terkejut, ingin meludahi mukanya, namun tak kuasa. Dan anehnya, mengapa Welas ada disini ?. Welas segera menghampiri sosok menyerupaiku berpakaian putih, lalu menjambak rambutnya dan mendongakkan kepalanya keatas hingga matanya hendak keluar.
       Bukan hanya mendongakkan kepalanya, tetapi setelah itu rambutnya ditarik kebawah dan jatuh tersungkur, mulutnya menatap tangga rumah serta mulutnya berdarah. Melihat hal demikian, Welas tetap berdiri di tempatnya. Anehnya sosok tersebut bangkit lalu menjambakku agar aku bangkit. Aku benar-benar ketakutan dengan sosok perempuan yang ternyata adalah perempuan yang pernah menemuiku dalam cermin yang kuibaratkan iblis waktu itu. Perempuan itu mengatakan akan menemuiku di lain  waktu. Tanpa ampun ia menghajarku dengan jambakan, tendangan, pukulan dan entah apa lagi. Aku dijadikan bulan-bulanan meski aku sudah meminta ampun berulang kali, tetapi justru semakin bengis ia menghajarku. “Mungkin sebentar lagi aku akan mati” bisikku dalam hati.
        “Gustiiiiii...” Rintihku memilukan. “Aku tobaaaat......!” Air mataku mulai menetes dikedua pipiku. Aku menyesali perbuatanku, juga perlakuanku kepada yu welas. Setelah aku berucap demikian, ia menghentikan aksinya. Aku menjadi sedikit tenang, meski rasa ketakutan itu terus menghinggapi perasaanku. Aku ingin bangkit, tetapi aku tak mampu, kecuali hanya bisa duduk bersimpuh.
        “Ampun, aku telah tobat, Sanjiwani” Kataku kepada orang yang juga pernah mengaku nama Sanjiwani saat menemuiku dalam cermin. “Ampun, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku ?” Kataku minta penjelasan.
         “Tadi kau mengatakan kata tobat. Apa makna tobat itu ?”
        “Tobat tidak jadi rentenir”.
        “Benarkah, Sanjiwani ? Aku ikut senang kau tobat”   Suaranya lembut. Suara yang menentramkan jiwa. Tak terasa hawa dingin menyapu ruangan. Perlahan sosok itu mendekat kearahku, lalu menyatu denganku, aku masih merasa takut dan jangan-jangan aku berbuat salah. Aku mencoba membuka mata dengan perlahan.
          “Ouh, Gusti” Aku tersadar, ternyata aku baru jatuh dari siuman. Karena terakhir kuiingat, aku diterjang kucing gandik. Kulihat kanan kiriku tak ada siapa-siapa termasuk  yu Welas. Orang yang pernah mengaku nama Sanjiwani yang menemuiku dalam cermin  yang kuanggap sebagai iblis telah menyatu dengan ragaku. Aku hela nafas panjang-panjang, kusadari  peristiwa tersebut telah menuntunku untuk bertobat dari pekerjaan rentenir. Aku bangkit dan berganti pakaian yang paling tidak aku sukai selama jadi rentenir. Aku keluar rumah disambut cerah fajar di ufuk timur. Akan kudatangi satu persatu orang yang pernah jadi korban pekerjaanku sebagai rentenir. Hasil renternir akan kukembalikan semua. Dan orang pertama kali kudatangi adalah yu Welas, dan aku harus mohon maaf padanya, karena aku telah menganiaya. Lebih dari itu,  aku telah diperingatkan melalui yu Welas, agar aku  tidak memiliki sifat kesombongan. Agar aku tidak berbuat semena-mena kepada orang lain, terutama orang seperti yu Welas.
          “Sanjiwani” Aku tersenyum sinis, aku harus bisa mengalahkan ke”aku”anku. Aku memang Sanjiwani, tetapi bukan Sanjiwani yang dulu” Aku melangkah melanjutkan perjalanan tobat. Karena aku sadar, hidup ini adalah ujian !.

Tidak ada komentar