Home Top Ad

PTK SLB: PENINGKATAN KEMAMPUAN BERCERITERA MELALUI PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE CONTEKSTUAL PADA SISWA TUNAGRAHITA RINGAN KELAS VIII SLB

Share:

Abdullah *)

Abstrak : hasil belajar berbicara/berceritera yang rendah ditingkatkan dengan menggunakan model pembelajaran picture and picture contekstual. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan dengan model Hopkins yang terdiri atas empat langkah. Subyek dan setting penelitian adalah siswa tunagrahita ringan kelas VIII SLB Negeri Surakarta. Penelitian ini dilakukan melalui  2 (dua) siklus, yaitu ; siklus I menggunakan gambar tunggal, dan siklus II menggunakan gambar berseri.  Data dikumpulkan dengan tes dan nontes, dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif komparatif. Data yang diperoleh diklasifikasikan berdasarkan aspek-aspek yang dijadikan fokus analisis, untuk mendeskripsikan keberhasilan penerapan model pembelajaran picture and picture contekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berceritera siswa sebelum diberi tindakan nilai tertinggi 6,5 dan nilai terendah 5,0 dengan rata-rata 57,5.  Setelah diberi tindakan menunjukkan bahwa pada siklus pertama, nilai tertinggi 7,5 dan terendah 5,5 dengan rata-rata 66,66. Sedangkan pada siklus kedua nilai tertinggi yang dicapai siswa adalah 7,0 dan nilai terendah 5,0 dengan rata-rata 61,66. Peningkatan nilai rata-rata siswa tersebut juga diikuti meningkatnya jumlah siswa yang telah mencapai KKM. Siswa yang telah mencapai KKM dari kondisi awal sebelum ada tindakan sebesar 50 % naik menjadi 83,4 %. Berdasarkan pada indikator kerja, maka penelitian tindakan ini membuktikan bahwa pembelajaran picture and picture conteksual dapat meningkatkan kemampuan berceritera siswa  tunagrahita ringan kelas  VIII  SLB  Negeri  Surakarta. 

Kata kunci  :  berceritera, picture and picture contekstual



PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa di sekolah luar biasa mempunyai tujuan agar siswa terampil berbahasa, baik secara lisan maupun secara tulis. Namun kenyataan di lapangan khususnya yang berkaitan dengan siswa menunjukkan lain.
Dalam situasi yang tidak formal, siswa dengan lancarnya berbicara/berceritera,  namun apabila dihadapkan pada situasi formal keberanian anak untuk berbicara menjadi hilang. Proses belajar mengajar di kelas seringkali lamban. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor dari diri siswa sendiri (minat baca) yang kurang, akan berpengaruh terhadap minimnya penguasaan kosa katanya, atau kesulitan berpikir abstrak. Sedangkan salah satu faktor dari luar yang mempengaruhi keberanian anak untuk berbicara/bercerita adalah penggunaan metode atau model pembelajaran yang kurang tepat.
Pada umumnya siswa dengan kategori tunagrahita ringan kurang dapat berpikir secara abstrak. Mereka berpikir atas dasar pengalaman konkrit yang dilihat atau dialami. Dalam menerima pelajaran siswa perlu bantuan tindakan-tindakan nyata untuk menolong pengembangan kemampuan intelektual. Dalam memahami sesuatu maka siswa perlu diberi materi pelajaran secara konkrit. Sehingga siswa akan memperoleh penghayatan yang lebih benar, misalnya siswa lebih memahami sikap dan perilaku tokoh dalam ceritera. Penggunaan model pembelajaran yang bervariatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam berbicara (berceritera) dapat menggunakan model picture and picture yang kontekstual dalam mengatasi permasalahan tersebut di atas.
Konsep konstektual maksudnya adalah siswa dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Konsep pembelajaran yang menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, sehingga siswa betul-betul belajar dalam pengetahuan yang nyata.
Pengalaman konkrit merupakan suatu kebutuhan yang harus diberikan kepada siswa tunagrahita ringan, mengingat mereka memiliki keterbatasan/ kekurangan dalam berpikir abstrak. Oleh karena itu, untuk menanamkan pengetahuan siswa tunagrahita ringan tentang pengalaman konkrit di sekelilingnya, maka guru harus berusaha untuk memberikan pengalaman konkrit yang beraneka ragam dan mengarahkan keterbatasan lingkup dan corak pengalaman siswa tunagrahita tersebut.
Di samping itu bahwa secara empiris hasil pembelajaran berbicara/berceritera jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil pembelajaran menyimak, membaca dan menulis. Hal ini didasarkan dari nilai ulangan berbicara (berceritera) siswa kelas VIII menunjukan bahwa sekitar 50 % siswa belum dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan.
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah pembelajaran picture and picture contekstual dapat meningkatkan kemampuan  berceritera siswa tunagrahita ringan kelas VIII SLB Negeri Surakarta?
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk meningkatkan kemampuan berceritera siswa tunagrahita ringan kelas VIII SLB Negeri  Surakarta. Melalui penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : (1) secara teoritis, mendapatkan bukti bahwa pembelajaran    picture   and    picture  constektual   dapat   meningkatkan kemampuan menceriterakan isi dongeng; (2) Bagi siswa, pembelajaran picture and picture contekstual ini  dapat menumbuhkan minat berceritera siswa, sehingga  kemampuan berceritera siswa dapat meningkat; (3) Bagi guru,  penelitian  ini   bermanfaat   untuk   mengetahui   efektivitas   model pembelajaran picture and picture constektual dalam pelajaran berbicara dan dapat dijadikan tolok ukur untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran selanjutnya.
LANDASAN TEORETIS
Pelajaran Berceritera
Pelajaran berceritera bagi anak dimaksudkan untuk menambah kemahiran anak menyampaikan yang hendak diberitakannya kepada orang lain dalam bahasa yang baik. Pelajaran bercerita dapat dibedakan menjadi dua yaitu berceritera tentang pengalamannya sendiri dan berceritera tentang hal yang pernah didengar, dilihat atau dibacanya sendiri.
Berceritera adalah cara untuk menuturkan atau menyampaikan ceritera secara lisan kepada anak didik yang dengan ceritera tersebut dapat disampaikan pesan-pesan yang baik, dari ceritera yang disampaikan juga dapat diambil suatu pelajaran (Aminah, 2008 ). Kegiatan berceritera yang dilakukan oleh guru mempunyai fungsi untuk mengembangkan penguasaan bahasa anak. Selain itu, mengandung nilai-nilai pendidikan, yaitu untuk membangkitkan minat anak meniru yang baik-baik dalam ceritera gurunya, dan mengajak anak tanpa disadari oleh anak untuk meniru cara gurunya berceritera.
Pengembangan keterampilan berbicara diajarkan bersama-sama dengan keterampilan menyimak. Setelah anak memahami isi dongeng yang diceriterakan guru, diharapkan dia terampil menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan, menceriterakan kembali isi dongeng secara lisan, atau melakukan bermain peran (Depdiknas, 2005 : 27).
Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2008 : 239) bahwa keterampilan berbicara/berceritera mensyaratkan adanya pemahaman minimal dari pembicara dalam membentuk sebuah kalimat. Sebuah kalimat, betapapun kecilnya memiliki struktur dasar yang saling bertemali sehingga mampu menyajikan sebuah makna.
Berdasarkan pengalaman peneliti selama melaksanakan tugas mengajar, keterampilan berbicara (berceritera)merupakan keterampilan aspek berbahasa yang paling sulit dimiliki siswa. Hal ini dapat dilihat dari masalah yang dihadapi siswa ketika melaksanakan proses pembelajaran, khususnya pada kompetensi dasar yang berhubungan dengan aspek bicara. Setidaknya terdapat dua fakta yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan rendahnya aspek kemampuan berbicara siswa, yaitu : (1) nilai kemampuan aspek berbicara seperti menceriterakan kembali ceritera dan sejenisnya, cenderung lebih rendah dibandingkan dengan aspek berbahasa yang lain; (2) kemampuan bertanya atau mengemukakan pendapat secara lisan masih rendah.
Bentuk-bentuk ceritera kepada anak yaitu : 1) berceritera tanpa alat peraga; 2) berceritera dengan alat peraga langsung; 3) berceritera dengan gambar; 4) berceritera dengan menggunakan papan panel, alat yang digunakan adalah papan kain flanel dan guntingan-guntingan gambar berwarna menarik yang melukiskan hal-hal yang akan muncul dalam ceritera (Aminah, 2008).

Pembelajaran Picture and Picture Contekstual
Kesulitan mengembangkan aspek kemampuan berbicara (berceritera) dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya kurangnya latihan yang mendukung aspek kemampuan berbicara seperti menceriterakan kembali isi dongeng yang didengar atau dibacanya. Untuk mengatasi permasalahan rendahnya kemampuan berceritera siswa, maka dapat dilakukan dengan cara menggunakan model pembelajaran kreatif seperti picture and picture contekstual, sehingga tercipta proses pembelajaran aktif.
Menurut Andriana (dalam Mulyono, 2010) menyatakan bahwa konsep metode kontekstual adalah siswa dalam belajar tidak berada di awan tetapi berada di bumi yang selalu menyatu dengan tempat belajar, waktu, situasi, kondisi dan suasana alam serta masyarakatnya. Konsep pembelajaran yang menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Mulyono (2010) mengatakan bahwa model pembelajaran picture and picture constektual dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.  Guru menyampaikan kompetensi yang akan dicapai
2.  Guru menyajikan materi sebagai pengantar
3.  Guru memperlihatkan gambar-gambar kegiatan yang berkaitan
     dengan materi pelajaran
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian untuk  memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis
5.  Guru menanyakan alasan / dasar pemikiran urutan gambar tersebut
6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru mulai menanamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin  dicapai
7.  Memberi kesimpulan/rangkuman. 
Kegiatan mengamati dan berceritera atau mengarang ini sebaiknya dilakukan secara berkelompok agar terjadi diskusi diantara mereka. Guru dapat melihat bagaimana keterlibatan siswa dalam diskusi. Jika batas waktu yang ditentukan telah selesai, maka saatnya melihat penampilan mereka berceritera di depan kelas.
Tujuan kegiatan belajar ini untuk mengembangkan keterampilan berbicara dan atau menulis. Selain itu diharapkan siswa dapat mengembangkan imajinasinya, berani berpendapat, dan dapat mengaitkan peristiwa pada gambar satu dengan gambar lainnya hingga menjadi satu kesatuan.



Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan
Kehidupan manusia di dunia ini selalu saling bertolak belakang. Ada yang pandai demikian juga ada yang kurang pandai, ada yang kaya dan ada yang miskin. Manusia dilahirkan dengan berbagai keadaan dan sifat yang telah dimilikinya sejak lahir, ada yang dibekali dengan kelebihan tetapi ada pula yang dilahirkan dengan kekurangan dan kelemahan. Salah satu diantaranya adalah mereka yang mengalami kelainan atau tidak berfungsinya alat-alat indera seperti pada umumnya.
Mereka yang mengalami kelainan tersebut diantaranya adalah yang mengalami kelainan dalam hal intelektual, yang lebih dikenal dengan anak lamban belajar atau tunagrahita. Anak tunagrahita ialah mereka yang memiliki intelegensi sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan mereka mengikuti pendidikan di sekolah umum.   
Selanjutnya anak tunagrahita ringan  ialah anak yang terbelakang dalam sekolah karena terbatas kecakapannya, mereka IQ nya di bawah anak lambat belajar yaitu antara 55 – 75. Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbendaharaan kata-katanya, mereka mengalami kesukaran berpikir abstrak, tetapi mereka masih dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus.
       Karakteristik anak tunagrahita ringan menurut Munawir (2011 : 10) dapat ditinjau secara fisik, psikis, dan sosial yang diuraikan sebagai berikut.
1.    Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.
2.    Karakteristik psikis sukar berpikir abstrak dan logis, kurang memiliki kemampuan analisa, asosiasi  lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik dan buruk.
3.    Karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. Kemampuan dalam bidang pendidikan termasuk mampu didik.

METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
    Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) artinya penelitian yang berbasis pada kelas. Dengan penelitian diperoleh manfaat berupa perbaikan praktis yang meliputi penanggulangan berbagai permasalahan belajar siswa dan kesulitan mengajar oleh guru.
Menurut Sudarwan (2002 : 43) mengatakan bahwa  tujuan penelitian tindakan atau penelitian aksi (action research) adalah mengembangkan keterampilan-keterampilan baru atau cara pendekatan dan pemecahan masalah dengan aplikasi langsung.  Proses ini terdiri dari empat langkah yang berlangsung secara siklikal, yaitu : perencanaan, tindakan, evaluasi, dan refleksi. Proses ini berkelanjutan dari siklus ke siklus sampai ditemukan sosok model yang baik.


Subyek Penelitian
    Dalam penelitian tindakan kelas ini yang menjadi subyek penelitian adalah siswa kelas VIII SLB Negeri Surakarta tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumlah 6 (enam) orang yang terdiri dari lima orang siswa putri dan satu orang siswa putra. Dalam beberapa hal mengalami keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, sehingga mereka memerlukan waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik.
   
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini  dilaksanakan di SLB Negeri Surakarta yang beralamat di Jalan Cocak X Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Penelitian dilaksanakan pada semester I tahun pelajaran 2011/2012  selama tiga bulan yaitu bulan  September sampai

Tidak ada komentar